Seiring dengan perkembangan zaman,
kebudayaan umat manusia pun mengalami perubahan. Menurut para
pemikir post modernis dekonstruksi, dunia tak lagi berada dalam dunia kognisi,
atau dunia tidak lagi mempunyai apa yang dinamakan pusat kebudayaan sebagai tonggak
pencapaian kesempurnaan tata nilai kehidupan. Hal ini berarti semua kebudayaan
duduk sama rendah, berdiri sama tinggi, dan yang ada hanyalah pusat-pusat
kebudayaan tanpa periferi. Sebuah kebudayaan yang sebelumnya dianggap pinggiran
akan bisa sama kuat pengaruhnya terhadap kebudayaan yang sebelumnya dianggap
pusat dalam kehidupan manusia modern.
Wajah
kebudayaan yang sebelumnya
dipahami sebagai proses linier yang selalu bergerak ke depan dengan berbagai
penyempurnaannya juga mengalami perubahan. Kebudayaan tersebut tak lagi sekadar
bergerak maju tetapi juga ke samping kiri, dan kanan memadukan diri dengan
kebudayaan lain, bahkan kembali ke masa lampau kebudayaan itu sendiri.
Lokalitas
kebudayaan karenanya menjadi tidak relevan lagi dan eklektisme menjadi norma
kebudayaan baru. Manusia cenderung mengadaptasi berbagai kebudayaan, mengambil
sedikit dari berbagai keragaman budaya yang ada, yang dirasa cocok buat
dirinya, tanpa harus mengalami kesulitan untuk bertahan dalam kehidupan.
Perubahan
tersebut dikenal sebagai perubahan sosial atau social change. Perubahan sosial
merupakan bagian dari perubahan budaya, namun perubahannya hanya mencakup
kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat, kecuali organisasi sosial
masyarakatnya. Perubahan sosial tersebut bardampak pada munculnya
semangat-semangat untuk menciptakan produk baru yang bermutu tinggi dan hal
inilah yang menjadi dasar terjadinya revolusi industri, serta kemunculan
semangat asketisme intelektual. Menurut Prof Sartono, asketisme dan expertise
ini merupakan kunci kebudayaan akademis untuk menuju budaya yang bermutu.
Sebagai homo
faber, manusia mencipta dan bekerja, untuk memperoleh kepuasan atau self
fulfillment. Dalam kaca mata agama dan unsur untuk beribadah, suatu
orientasi kepada kepuasan batin dan menuju ke arah sesuatu yang transendental.
Di sinilah yang disebut etos bangsa itu muncul.
Pada kehidupan
masyarakat modern, kerja merupakan bentuk eksploitasi kepada diri, sehingga
mempengaruhi pola ibadah, makan, dan pol
a hubungan
pribadi dengan keluarga. Sehingga dalam kebudayaan industri dan birokrasi
modern pada umumnya, dipersonalisasi menjadi pemandangan sehari-hari.
Masyarakat modern mudah stres dan muncul penyakit-penyakit baru yang berkaitan
dengan perubahan pola makanan dan pola kerja. Yang terjadi kemudian adalah
dehumanisasi dan alienasi atau keterasingan, karena dipacu oleh semangat kerja
yang tinggi untuk menumpuk modal. Berger menyebutnya sebagai “lonely crowd”
karena pribadi menemukan dirinya amat kuat dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam
kebudayaan industrialisasi, terus terjadi krisis. Pertama, kosmos yang nyaman
berubah makna karena otonomisasi dan sekularisasi sehingga rasa aman lenyap.
Kedua masyarakat yang nyaman dirobek-robek karena individu mendesakkan diri
kepada pusat semesta, ketiga nilai kebersamaan goyah, keempat birokrasi dan
waktu menggantikan tokoh mistis dan waktu mitologi.
Para penganut
paham pascamodern seperti Lyotard pernah mengemukakan perlunya suatu jaminan
meta-sosial, yang dengannya hidup kita dijamin lebih merdeka, bahagia, dan
sebagainya. Khotbah agung-nya (metanarasi) ini mengutamakan perlunya new
sensibility bagi masyarakat yang terjebak dalam gejala dehumanisasi budaya
modern.
Kebiasaan dari
masyarakat modern adalah mencari hal-hal mudah, sehingga penggabungan
nilai-nilai lama dengan kebudayaan birokrasi modern diarahkan untuk kenikmatan
pribadi. Sehingga, munculah praktek-peraktek kotor seperti nepotisme, korupsi,
yang menyebabkan penampilan mutu yang amat rendah.
Kebudayaan
Modern
Proses
akulturasi di Negara-negara berkembang tampaknya beralir secara simpang siur,
dipercepat oleh usul-usul radikal, dihambat oleh aliran kolot, tersesat dalam
ideologi-ideologi, tetapi pada dasarnya dilihat arah induk yang lurus: ”the
things of humanity all humanity enjoys”. Terdapatlah arus pokok yang dengan
spontan menerima unsur-unsur kebudayaan internasional yang jelas menguntungkan
secara positif.
Akan tetapi
pada refleksi dan dalam usaha merumuskannya kerap kali timbul reaksi, karena
kategori berpikir belum mendamaikan diri dengan suasana baru atau penataran
asing. Taraf-taraf akulturasi dengan kebudayaan Barat pada permulaan masih
dapat diperbedakan, kemudian menjadi overlapping satu kepada yang lain sampai
pluralitas, taraf, tingkat dan aliran timbul yang serentak. Kebudayaan Barat
mempengaruhi masyarakat Indonesia, lapis demi lapis, makin lama makin luas lagi
dalam (Bakker; 1984).
Apakah
kebudayaan Barat modern semua buruk dan akan mengerogoti Kebudayaan Nasional
yang telah ada? Oleh karena itu, kita perlu merumuskan definisi yang jelas
tentang Kebudayaan Barat Modern. Menurut para ahli kebudayaan modern dibedakan
menjadi tiga macam yaitu:
Kebudayaan
Teknologi Modern
Pertama kita harus membedakan antara Kebudayan Barat
Modern dan Kebudayaan Teknologis Modern. Kebudayaan Teknologis Modern merupakan
anak Kebudayaan Barat. Akan tetapi, meskipun Kebudayaan Teknologis Modern jelas
sekali ikut menentukan wujud Kebudayaan Barat, anak itu sudah menjadi dewasa
dan sekarang memperoleh semakin banyak masukan non-Barat, misalnya dari Jepang.
Kebudayaan Tekonologis Modern merupakan sesuatu yang
kompleks. Penyataan-penyataan simplistik, begitu pula penilaian-penilaian hitam
putih hanya akan menunjukkan kekurangcanggihan pikiran. Kebudayaan itu
kelihatan bukan hanya dalam sains dan teknologi, melainkan dalam kedudukan
dominan yang diambil oleh hasil-hasil sains dan teknologi dalam hidup
masyarakat: media komunikasi, sarana mobilitas fisik dan angkutan, segala macam
peralatan rumah tangga serta persenjataan modern. Hampir semua produk kebutuhan
hidup sehari-hari sudah melibatkan teknologi modern dalam pembuatannya.
Kebudayaan Teknologis Modern itu kontradiktif. Dalam arti
tertentu dia bebas nilai, netral. Bisa dipakai atau tidak. Pemakaiannya tidak
mempunyai implikasi ideologis atau keagamaan. Seorang Sekularis dan Ateis,
Kristen Liberal, Budhis, Islam Modernis atau Islam Fundamentalis, bahkan segala
macam aliran New Age dan para normal dapat dan mau memakainya, tanpa
mengkompromikan keyakinan atau kepercayaan mereka masing-masing. Kebudayaan
Teknologis Modern secara mencolok bersifat instumental.
Kebudayaan
Modern Tiruan
Dari kebudayaan Teknologis Modern perlu dibedakan sesuatu
yang mau saya sebut sebagai Kebudayaan Modern Tiruan. Kebudayaan Modern Tiruan
itu terwujud dalam lingkungan yang tampaknya mencerminkan kegemerlapan
teknologi tinggi dan kemodernan, tetapi sebenarnya hanya mencakup pemilikan
simbol-simbol lahiriah saja, misalnya kebudayaan lapangan terbang
internasional, kebudayaan supermarket (mall), dan kebudayaan Kentucky Fried
Chicken (KFC).
Di lapangan terbang internasional orang dikelilingi oleh
hasil teknologi tinggi, ia bergerak dalam dunia buatan: tangga berjalan, duty
free shop dengan tawaran hal-hal yang kelihatan mentereng dan modern, meskipun
sebenarnya tidak dibutuhkan, suasana non-real kabin pesawat terbang; semuanya
artifisial, semuanya di seluruh dunia sama, tak ada hubungan batin.
Kebudayaan Modern Tiruan hidup dari ilusi, bahwa asal
orang bersentuhan dengan hasil-hasil teknologi modern, ia menjadi manusia
modern. Padahal dunia artifisial itu tidak menyumbangkan sesuatu apapun
terhadap identitas kita. Identitas kita malahan semakin kosong
karena kita semakin membiarkan diri dikemudikan. Selera kita, kelakuan kita,
pilihan pakaian, rasa kagum dan penilaian kita semakin dimanipulasi, semakin
kita tidak memiliki diri sendiri. Itulah sebabnya kebudayaan ini tidak nyata,
melainkan tiruan, blasteran.
Anak Kebudayaan Modern Tiruan ini adalah Konsumerisme:
orang ketagihan membeli, bukan karena ia membutuhkan, atau ingin menikmati apa
yang dibeli, melainkan demi membelinya sendiri. Kebudayaan Modern Blateran ini,
bahkan membuat kita kehilangan kemampuan untuk menikmati sesuatu dengan
sungguh-sungguh. Konsumerisme berarti kita ingin memiliki sesuatu, akan tetapi
kita semakin tidak mampu lagi menikmatinya. Orang makan di KFC bukan karena
ayam di situ lebih enak rasanya, melainkan karena fast food dianggap gayanya
manusia yang trendy, dan trendy adalah modern.
Kebudayaan-Kebudayaan
Barat
Kita keliru apabila budaya blastern kita samakan dengan
Kebudayaan Barat Modern. Kebudayaan Blastern itu memang produk Kebudayaan
Barat, tetapi bukan hatinya, bukan pusatnya dan bukan kunci vitalitasnya. Ia
mengancam Kebudayaan Barat, seperti ia mengancam identitas kebudayaan lain,
akan tetapi ia belum mencaploknya. Italia, Perancis, spayol, Jerman, bahkan
barangkali juga Amerika Serikat masih mempertahankan kebudayaan khas mereka
masing-masing. Meskipun di mana-mana orang minum Coca Cola, kebudayaan itu
belum menjadi Kebudayaan Coca Cola.
Orang yang sekadar tersenggol sedikit dengan kebudayaan
Barat palsu itu, dengan demikian belum mesti menjadi orang modern. Ia juga
belum akan mengerti bagaimana orang Barat menilai, apa cita-citanya tentang
pergaulan, apa selera estetik dan cita rasanya, apakah keyakinan-keyakinan
moral dan religiusnya, apakah paham tanggung jawabnya (Suseno; 1992).
0 komentar:
Posting Komentar